KRISIS MONETER DAN KEMISKINAN DI SRIHARJO

ABSTRAKSI

Ketika Krisis Moneter (Krismon) 1998-1998 terjadi maka secara statistik jumlah penduduk Indonesia yang termiskinkan mengalami peningkatan. Angka kemiskinan absolut dan relatif penduduk Indonesia meningkat. Tetapi yang perlu dicatat adalah bahwa ternyata dampak krismon di perdesaan tidaklah separah yang dirasakan di perkotaan Indonesia. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa penduduk desa-desa yang disebut atau dikategorikan sebagai desa miskin seperti dusun Mojohuto, desa Sriharjo, tidaklah begitu terpengaruh. Setidaknya adalah bahwa mereka tidak mengalami shock sebesar yang dialami oleh penduduk kaya dan miskin yang hidup di perkotaan.

Adanya kemampuan untuk mengidupkan secara mandiri sektor perekonomian desa Sriharjo secara swadaya merupakan bukti nyata peran kelompok-kelompok lembaga keuangan mikro yang turut berperan sebagai mediator pengembangan aktivitas perekonomian di pedesaan.

Keywords: Krismon, LKM (lembaga keuangan mokro).

DUSUN MOJOHURO, SRIHARJO

Menurut pendataan penduduk terakhir yang dilakukan oleh aparat dusun Mojohuro, desa Sriharjo, yaitu sampai dengan Oktober 2001, terdapat 194 KK dengan jumlah warga 884 jiwa. Adapun kelompok pekerjaan atau mata pencaharian mereka bisa dibagi menjadi beberapa kelompok utama, yaitu: tani atau buruh tani, buruh bangunan, wiraswasta (toko kelontong), PNS, dan ada juga 23 orang yang menjadi TKI ke luar negeri. Adapun fasilitas pendidikan yang terdapat di dusun Sriharjo adalah TK (2 buah), SD (3 buah), SMP di dusun Jati, dan SMU di Imogiri. Selain diuntungkan karena lokasi dusun Mojohuro yang terletak di pusat desa, kemajuan dusun ini juga karena beberapa keuntungan misalnya adanya pasar desa, fasilitas kesehatan desa Sriharjo, dan saluran utama pengairan irigasi teknis untuk desa Sriharjo.

Untuk pembangunan dusun, desa Sriharjo mengalokasikan anggaran pembangunan untuk dusun Mojohuro (setara dengan dusun lainnya) sebesar Rp.250.000,00 per tahun untuk memancing swadaya masyarakat setempat. Uniknya, dengan anggaran tersebut, secara swadana masyarakat dusun Mojohuro bisa membangun jalan kampung, dan memenuhi kebutuhan dusunnya selama setahun. Menurut observasi dan tanya jawab yang dilakukan terhadap salah satu warga yaitu Mbah Wiryo Rejo, beliau mengatakan bahwa sebenarnya kalau dikatakan pendapatan rata-rata warga tidak mencukupi untuk membayar kewajiban kampung selain kebutuhan pribadi sih, memang iya. Tetapi pada prinsipnya, warga masih mampu dan mau mengusahakan dana untuk memenuhi kebutuhannya dengan berbagai macam cara, bahkan juga kebutuhan desa. Walaupun jika dibuat perhitungan normal, sepertinya mustahil penduduk yang tidak memiliki pendapatan tetap tersebut bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya sekaligus juga kewajiban pada kampung.

Sekedar perhitungan analogi yang diberikan oleh aparat desa, yaitu Bapak Samun Kaur Pemerintahan desa Sriharjo yang menjabat sebagai PJS Kepala Dusun Mojohuro. Warga yang bekerja sebagai tukang bangunan mendapatkan penghasilan Rp.66.000,00 per minggu atau sekitar Rp. 264.000,00 per bulan adalah cukup untuk menghidupi satu KK yang terdiri dari 5 jiwa. Pendapatan sebesar itu termasuk kelompok menengah dalam penghasilan bagi warga Mojohuro. Untuk penduduk yang bekerja sebagai buruh tani tentunya lebih kecil lagi. Sedangkan yang digolongkan sebagai petani (pemilik sawah), sebenarnya sebagian besar tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai petani karena luas lahan yang sangat minim. Namun buktinya adalah bahwa penduduk dusun Mojohuro berhasil survive pada periode krisis moneter yang lalu, bahkan mereka mengatakan seolah-olah tidak terasa dampaknya bagi kehidupan mereka. Mbah Wiryo Rejo mengungkapkan bahwa kondisi krisis moneter atau bukan adalah sama saja. Hanya yang membedakan adalah ketika sebelum krisis jumlah uang rata-rata yang dimiliki warga sedikit, tetapi harga-harga barang kebutuhan rendah, sedangkan setelah terjadi krisis jumlah uang yang dipegang bertambah, namun harga-harga meningkat seiring dengan pertambahan tersebut. Sungguh merupakan pernyataan yang mengejutkan karena tidak seperti bayangan awal peneliti bahwa warga dusun Mojohuro sangat terpuruk karena krisis moneter atau ekonomi ini.

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

Desa Sriharjo yang hampir 90% lahannya diusahakan sebagai sawah dan ladang dengan perbandingan 45% sawah ditanami padi dan 45% ladang ditanami palawija, atau ketela, mengalami kemajuan dalam pemberdayaan pertanian dan kegiatan perekonomiannya berkat adanya kelompok-kelompok keuangan mikro yang beroperasi. Masri Singarimbun dan David H. Penny (1989) melakukan penelitian di desa Sriharjo dan obyek utamanya adalah dusun Miri. Penelitian itu bisa digunakan sebagai pembanding dalam melihat bagaimana penduduk desa menanggulangi kemiskinan mereka. Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa terlihat adanya hubungan yang positif antara pasarisasi dengan peningkatan taraf hidup penduduk Sriharjo.

Pada tahun 1993 oleh pemerintah pusat, Desa Sriharjo tidak dinyatakan sebagai desa miskin, justru desa tetangga, yaitu desa Selo Pamioro-lah yang termasuk dalam kategori desa miskin dan memperoleh dana Inpres Desa Tertinggal (IDT). Padahal menurut evaluasi BKKBN 40% penduduk desa Sriharjo masih miskin. Pernyataan ini diutarakan oleh Bapak Ashari, Kaur Kesra desa Sriharjo. Dari pernyataan itu, kami menangkap kesan bahwa pengelompokan miskin dan tidak miskin itu sesungguhnya cukup bias atau bisa dikatakan “terlalu longgar”. Hal ini terbukti bahwa sejak tahun 1973 walaupun desa Sriharjo di beri predikat miskin, namun tidak mendapatkan dana IDT dari pemerintah pusat, dan mampu bertahan bahkan pada bulan Nopember 2001 saat pengamatan lapangan kondisi rata-rata desa Sriharjo lebih baik dibandingkan dengan kesejahteraan rata-rata desa Selo Pamioro yang menjadi patokan kita.

Di desa Sriharjo terdapat beberapa kelompok tani, kelompok arisan, koperasi, dan juga kelompok-kelompok keuangan mikro yang menjadi lembaga keuangan intemal yang menghidupkan perekonomian dan aktivitas perputaran uang di desa Sriharjo. Pada tahun 1988 Yayasan AgroEkonomika, yang diketuai Prof. Mubyarto, setelah mempelajari dan memperbandingkan kondisi kemajuan desa itu sejak tahun 1975 hingga tahun 1988, memberikan dana grant / hibah sebesar Rp. 20 juta untuk kemudian dikelola seperti dana IDT untuk modal kerja dan untuk dipinjamkan kepada anggota yang miskin sebagai modal kegiatan yang memberi nilai tambah ekonomis bagi warga desa tersebut. Penyalurannya melalui kelompok Pokmas kepada anggota dalam bentuk pinjaman lunak dengan bunga 2% per bulannya. Kelompok ini cukup efektif meningkatkan kehidupan ekonomi penduduknya. Ibu Sri, yang diperkenalkan oleh aparat desa setempat berhasil mengembangkan dana yang dipinjamnya Rp. 1 juta rupiah, menjadi Rp. 6 juta rupiah. Suatu prestasi yang luar biasa di masa krisis seperti ini.

Di desa Sriharjo juga terdapat sebuah koperasi, yaitu Koperasi Lestari yang kini telah memiliki aset bergerak (modal) senilai Rp. 24 juta dan bergerak di bidang simpan pinjam dan pengadaan barang bagi warga desa Sriharjo. Penduduk yang menggunakan jasa koperasi ini berasal dari dusun-dusun yang terletak di sekitaran pusat desa, termasuk dusun Mojohuro. Selain koperasi tersebut, lembaga keuangan mikro yang mendukung kehidupan warga desa tersebut adalah kelompok-kelompok arisan Dasawisma yang lebih dekat secara emosional dan langsung kepada rakyat. Kelompok ini bekerja dengan sistem pinjaman variatif yang menentukan bunga 10% per pinjaman. Jadi pada awalnya seorang warga yang mengajukan permohonan pinjaman dinilai kelayakannya oleh pengurus dasawisma yang bersangkutan, kemudian diproses pinjamannya, dan warga tersebut berkewajiban mengangsur pinjamannya sebesar 10% dari pinjamannya sebanyak 11 kali, sehingga lama kelamaan uang berputar semakin besar. Semenjak sistem ini diterapkan, menurut laporan warga dusun Mojohuro, yaitu Mbah Wiryo Rejo yang menjadi responden kami, tidak terdapat lagi praktik rentenir dan ijon yang dilakukan atau dipergunakan oleh masyarakat.

Sebenarnya ada juga beberapa bank seperti misalnya BRI dan BPD yang terletak di pusat kota kecamatan Imogiri, namun warga setempat enggan memanfaatkan jasa lembaga keuangan makro tersebut karena prosedur yang rumit, kebutuhan pinjaman yang relatif kecil, atau juga karena warga lebih menyukai lembaga keuangan mikro karena kedekatan secara emosional.
KESEJAHTERAAN

Dapat dikatakan bahwa sesudah tahun 1975 perubahan-perubahan dalam hal kesejahteraan desa Sriharjo berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan periode sebelumnya, dan ini berkaitan dengan kemajuan ekonomi dan perbaikan prasarana di Indonesia pada umumnya (M Singarimbun,1989). Dalam hal kemajuan ekonomi yang dialami oleh penduduk miskin diyakini bahwa terdapat banyak kemajuan yang berarti. Beberapa diantaranya adalah kebiasaan makan gaplek atau tiwul di musim paceklik telah berganti menjadi nasi sebagai makanan pokok. Indikator lain adalah bahwa mobilitas penduduk desa Sriharjo sudah lebih tinggi. Jika dulu para tenaga penganggur di Sriharjo lebih suka bekerja sebagai buruh tani, kini, berkat kemajuan pembangunan, banyak penduduk lebih suka merantau keluar desa bekerja sebagai tukang bangunan, tukang kayu di industri mebel, atau sebagai TKI ke Malaysia dan beberapa negara lainnya (tercatat 23 orang s/d bulan November 2001). Selain itu yang perlu dicatat adalah bahwa untuk dusun Mojohuro sendiri terdapat sekitar 56 orang adalah pegawai negeri sipil. Hal ini mempengaruhi perhitungan tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk dusun Mojohuro. Untuk itu maka kami mengacu pada hasil wawancara langsung dengan scorang responden warga dusun Mojohuro, Sriharjo, yaitu Mbah Wiryo Rejo.

Mbah Wiryo Rejo berusia sekitar 60 tahun memiliki anggota keluarga sebanyak 6 jiwa. Pekerjaan utamanya adalah buruh tani. Dengan perkiraan pengeluaran rata-rata sebesar Rp.10.000,00 sahari, Mbah Wiryo hanya memperoleh pendapatan rata-rata Rp.6.000,00 perhari, itupun jika ia mendapatkan panggilan untuk bekerja sebagai buruh tani. Jika dilihat sepintas dari kebutuhan itu tidaklah terpenuhi secara cukup. Namun, yang cukup mengagumkan adalah bahwa keluarga Mbah Wiryo bisa bertahan hingga saat ini dan juga di masa krisis tidak mengalami kemunduran. Dari informasi yang diperoleh, terdapat temuan yang menarik yaitu bahwa selain menjadi buruh tani Mbah Wiryo Rejo juga memelihara ayam dan bebek yang dibiarkan tumbuh secara liar tanpa perawatan. Ayam tersebut dibiarkan bertengger di pohon-pohon di pekarangannya. Selain itu juga Mbah Wiryo memelihara kambing tetangganya sejumlah tiga ekor dengan sistem bagi anakan, jika kambing beranak, maka saparo akan menjadi milik dari Mbah Wiryo Rejo.

Hal yang penting dari praktek ini adalah adanya motif berjaga-jaga menghadapi situasi tidak menentu karena pendapatan dan pengeluaran yang serba tidak pasti. Ketika sehat dan mampu bekerja borongan, Mbah Wiryo menyediakan cadangan simpanan untuk pengeluaran sewaktu-waktu, sedangkan untuk belanja sehari-hari, Mbah Wiryo hanya berbelanja lauk dan bahan bakar saja. Untuk sayurnya, ia memanfaatkan lingkungan pekarangan secara maksimal, misalnya daun singkong, daun simbukan, dan sebagainya. Selain itu saat-saat ia harus memenuhi kebutuhan mendadak yang cukup besar, maka ia menjual ayam atau bebek ke pasar. Inilah kunci kemampuan bertahan rata-rata penduduk desa Sriharjo. Bahkan seperti yang dikemukakan diatas, ia juga menyatakan tidak ada perbedaan yang mencolok antara periode sebelum terjadinya krismon dengan saat ini. Baginya selama ini sebagai penduduk dusun Mojohuro-Sriharjo, dirinya hidup nrimo dan mau berusaha serta menyesuaikan pola belanja dengan pendapatannya yang selalu pas-pasan. Perihal menabung, karena pola masyarakatnya cenderung bersifat semi subsisten, kebutuhan untuk menabung dalam bentuk tunai tidaklah mendesak. Mereka mengalihkan pola menabung atau berjaga-jaga dalam bentuk ternak atau bentuk lainnya. Selain itu keberadaan lembaga keuangan mikro seperti kelompok arisan dasawisma sangat membantu mengatasi kebutuhan yang mendesak.

KESIMPULAN

Yang bisa disimpulkan dari pengamatan fenomena kemiskinan yang selama krisis moneter yang dimulai 1997 di dusun Mojohuro – Sriharjo, adalah sebagai berikut:

1. Perihal definisi miskin untuk menilai masyarakat desa Mojohuro – Sriharjo masih terlalu kasar. Jika yang dimaksud miskin mengacu pada pemenuhan standar kebutuhan hidup normal dan layak –yaitu kondisi pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, dan tertier — maka penduduk desa Sriharjo masih bisa dikategorikan miskin.

2. Dampak krisis moneter beberapa waktu lalu memang terasa hingga di desa Mojohuro – Sriharjo, namun tidaklah separah yang dirasakan masyarakat perkotaan. Dampak krismon terasa sekali dalam hal tingkat inflasi. Namun hal tersebut tidak begitu menjadi masalah karena sebenarnya perekonomian perdesaan tidak secara langsung terkait dengan luar negeri. Analoginya adalah jika sebelum krismon pendapatan perhari rata-rata adalah Rp 3.000,00 dan habis dibelikan beras dan gula masing-masing 1 kilo, maka pada periode krismon pendapatan perhari rata-rata mengalami peningkatan menjadi Rp 7.000,00 dan jumlah tersebut juga habis untuk jenis konsumsi yang jumlalmya sama dengan periode sebelurn krismon

3. Kecenderungan pola ekonomi pedesaan adalah semi subsisten, dan hal ini merupakan kekuatan bagi masyarakat perdesaan dalam bertahan di saat krisis moneter.

1 Komentar »

  1. sempulur Said:

    Salam kenal dari komunitas keluarga miskin. Semoga berkenan mengunjungi blog kami untuk menyumbang kesempatan meraih masa depan yang lebih baik dan harmonis.
    Terima kasih


{ RSS feed for comments on this post} · { TrackBack URI }

Tinggalkan komentar